Penyebab Harga Barang Mahal Akibat Inflasi Dan Blokade Ekonomi Oleh

Penyebab Harga Barang Mahal Akibat Inflasi Dan Blokade Ekonomi Oleh

Pangkas jalur distribusi

Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.

Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN

Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif.

Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik."

Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi

Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.

Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan.

Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta

Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata.

Halo Sobat Zenius, di artikel kali ini gue mau membahas sebuah fenomena ekonomi yang pasti kita semua pernah rasakan, yaitu fenomena kenaikan harga barang secara umum yang sering disebut sebagai inflasi.

Yak, bisa ditebak sesuai dengan judulnya: Gue mau mengupas tuntas sebuah pertanyaan yang mungkin bikin elo penasaran selama ini:

“Kenapa ya harga-harga barang setiap tahun selalu naik terus? Kenapa ga sesekali harganya turun aja sih?”

Zaman gue dulu masih SMA, sekitar tahun 1990-an akhir (eh ketauan tuanya deh gue :p) uang jajan gue “cuma” Rp5.000/hari. Wah dikit amat ya?

Tapi dengan uang segitu, dulu gue udah bisa bayar ongkos angkot pulang pergi sekolah, makan siang, malahan masih ada sisa buat jajan sepulang sekolah. Lho kok bisa?

Ya, zaman gue dulu SMA, tarif angkot Rp500 sekali naik, terus makan nasi sama soto ayam di kantin sekolah palingan Rp2.500. Murah banget ya kalo dilihat di tahun 2022 sekarang.

Coba bandingin lagi harga barang-barang zaman sekarang dengan beberapa tahun yang lalu, sebetulnya semua harga barang di sekitar juga terus naik kok!

Coba elo inget-inget aja mulai dari harga gorengan, air mineral, sampai harga komik di toko buku juga naik melulu setiap tahun! Kok bisa sih?

Kenaikan harga barang ini juga sebetulnya ga selalu terjadi dalam jangka waktu tahunan, bisa jadi terjadi dalam waktu hitungan bulan.

Iseng-iseng coba deh cek di internet, harga minyak goreng di bulan Februari 2022 kemarin kurang lebih Rp13.000;-an/l, terus di awal Maret 2022 naik lagi sampe Rp15.000;-an/l.

Gila, minyak goreng kok harganya naik terus ya? Kenapa sih harganya ngga sama aja ya?

Ini para pedagang yang mainin harga supaya cepet kaya apa gimana sih? Atau jangan-jangan, ini artinya kondisi ekonomi di Indonesia terus memburuk dari tahun ke tahun?

“Apakah kenaikan harga menunjukkan bahwa Ekonomi Indonesia terus memburuk?”

Penyebab Terjadinya Inflasi :

Mulai Investasi Sejak Dini dengan OCTO Mobile

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa investasi merupakan salah satu cara mengantisipasi inflasi yang bisa dilakukan.

Kini, berinvestasi semakin mudah dilakukan hanya dengan beberapa klik melalui aplikasi OCTO Mobile dari CIMB Niaga.

OCTO Mobile menyediakan berbagai pilihan produk investasi reksa dana, obligasi, hingga valas yang bisa Anda sesuaikan dengan profil risiko investasi.

Jadi, tunggu apalagi? Segera mulai investasi sejak dini bersama CIMB Niaga sekarang juga. Yuk, #GetWealthSoon!

Pernah nggak sih kamu merasa "Kok semakin lama, harga barang semakin naik ya ?". Dulu, harga siomay di pinggir jalan bisa hanya Rp 2.000/porsi atau bahkan lebih murah, tetapi di tahun 2022 ini bisa mencapai Rp 10.000 - Rp 15.000/porsi. Faktanya, harga barang dan jasa semakin lama memang akan terus meningkat. Sebenarnya apa sih yang terjadi? kenapa harga terus naik dan kenapa harga tidak terus sama nominalnya seperti dulu? Yuk simak pembahasannya!

Dalam ekonomi, fenomena ini dinamakan "Inflasi", yaitu fenomena kenaikan barang & jasa secara gradual atau bertahap secara terus menerus. Kalau hanya dilihat dari kacamata kenaikan harga, pertanyaan yang mungkin muncul dipikiran kita adalah, kok bisa ya harga barang barang bisa naik secara bersamaan? Jawabannya adalah, fenomena ekonomi ini terjadi secara natural karena ada perubahan di beberapa komponen dalam perputaran roda ekonomi.

Selain berkaitan dengan kenaikan harga, inflasi juga diartikan sebagai penurunan nilai uang yang kita punya. Misal, barang atau jasa yang bisa kita beli dengan uang Rp 50.000 di tahun 2005 itu tidak sama dengan apa yang bisa kita dapat di tahun 2022.

Inflasi biasanya juga diimbangi dengan upah atau gaji karyawan yang naik setiap tahunnya. Tidak sedikit orang yang salah mengartikan bahwa naiknya harga barang setiap tahun adalah cermin dari ekonomi yang buruk, padahal sebetulnya tidak seperti itu.

Dalam konteks inflasi, Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi inflasi, tetapi negara-negara lain juga mengalami inflasi. Fenomena inflasi ini bisa dibilang wajar dan umum terjadi, bahkan di negara - negara yang dianggap maju dari segi ekonomi.

Inflasi biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik), BPS akan memonitor pergerakan harga barang dan jasa setiap bulannya, mulai dari harga - harga kebutuhan pokok yang dibutuhkan semua orang, perumahan, listrik, pendidikan, kesehatan, transportasi, bahan bakar, dan juga rekreasi.

BPS juga yang akan mengolah data sampai mendapat angka inflasi di Indonesia, kita bisa lihat angka tersebut di website BPS atau di website Bank Indonesia.

Inflasi atau kenaikan harga yang terjadi tidak selalu dipicu oleh kebijakan pemerintah atau lembaga - lembaga tertentu saja, tetapi bisa terjadi secara natural yang prosesnya dilakukan tanpa sadar oleh kita semua sebagai pelaku ekonomi. Berikut 4 hal penyebab terjadinya inflasi,

Pangkas jalur distribusi

Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.

Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN

Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif.

Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik."

Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi

Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.

Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan.

Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta

Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata.

Ridho Ilahi | Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluhan tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah. Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42%, sedangkan pada 2023 hanya 2,86%. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55%, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?

Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula atau minyak goreng melambung tinggi. Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.

Baca Juga: Langkah RI Menciptakan Mini World Bank, Pembiayaan Khusus Untuk Infrastruktur Daerah

Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal.

Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.

Baca Juga: Saham EMTK & SCMA Melejit, Berkat Kinerja Vidio Atau Sentimen Akumulasi Induk Usaha?

BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56% (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24% (mtm) pada November 2024.

Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di level Rp 582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp 550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.

Baca Juga: Melelang Harta Koruptor nan Mewah

Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9%. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya "nyaris tidak miskin" bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan.

Cara Menghitung Inflasi Tahunan

Nah, setelah elo sudah mengetahui komponen-komponen yang menyebabkan inflasi, gue harap itu semua udah cukup menjawab pertanyaan kenapa harga barang yang dikonsumsi sehari-hari selalu naik setiap tahun.

Sekarang masalahnya, tingkat kenaikan itu bisa dihitung ga? Seberapa besar tingkat inflasi? Sampai sejauh mana inflasi dikatakan wajar? Bagaimana cara mengukurnya?

Biasanya di tiap negara ada sebuah badan pemerintah yang ngurusin statistik. Di Indonesia punya Biro Pusat Statistik (BPS).

Setiap bulan BPS mempublikasikan inflasi Indonesia berapa persen dan angka ini didapet dari hasil pengumpulan data yang kemudian diolah lebih lanjut.

Data yang dikumpulin tuh data apa sih? Secara teori, ada beberapa pendekatan yang digunakan, di artikel ini gue akan bahas 2 pendekatan yang paling populer yaitu: Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) dan Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI). Gimana penjelasan dari 2 pendekatan di atas?

Menggali Lebih Dalam Tentang Inflasi

Inflasi, yang sering didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara bertahap, memiliki dampak yang signifikan pada perekonomian suatu negara.

Fenomena ini memang terjadi secara alami dalam sistem ekonomi dan dapat dipicu oleh berbagai faktor.

Namun, perlu pemahaman yang lebih mendalam tentang penyebab dan dampaknya untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkannya.

Tingkat Inflasi yang Wajar itu Berapa Ukurannya?

Nah, setelah elo tau penyebab inflasi, dampak inflasi, dan cara menghitungnya. Maka pertanyaan berikutnya adalah:

Berapa sih ukuran tingkat inflasi yang wajar? Sampai pada sejauh mana tingkat inflasi bisa dikatakan merugikan?

Sebagaimana diketahui bahwa inflasi bisa jadi berdampak positif pada ukuran tertentu, tapi juga bisa berdampak negatif jika kebablasan.

Terus yang dibilang inflasi yang merugikan tuh sebenernya berapa sih? Nah, ini pengelompokkan inflasi berdasarkan tingkat keparahannya:

Kalo elo sempet denger dari orangtua atau kakak, pada tahun 1998 Indonesia sempat mengalami krisis moneter yang ditandai dengan inflasi yang sangat tinggi.

Berdasarkan ukuran di atas, secara umum krisis moneter Indonesia tahun 1998 masuk ke kategori High Inflation.

Ini udah bisa dikatakan gawat banget ya, apalagi kalo udah menyentuh hiperinflasi. Teorinya sih, sebisa mungkin lembaga kontrol keuangan negara bisa mengendalikan inflasi untuk tetap pada level low inflation.

Apakah Inflasi Selalu Menandakan Bahwa Kondisi Ekonomi Memburuk?

Nah, setelah elo mengetahui  komponen apa aja yang penyebab inflasi, sekarang pertanyaannya:

“Apakah inflasi itu buruk? Apakah inflasi itu selalu menunjukkan bahwa ekonomi suatu negara buruk?”

Kalo elo cek data ekonomi negara manapun di dunia ini, pasti akan nemuin yang namanya laju atau tingkat inflasi. Meskipun yang kita cek adalah negara paling maju dan makmur di dunia ini sekalipun.

Lho emang semua negara mengalami inflasi? Jawabannya IYA.

Inflasi emang merupakan salah satu fenomena dalam ekonomi makro yang sangat umum alias sangat wajar.

Terus pertanyaannya sekarang, inflasi tuh sebenarnya hal yang positif apa negatif sih? Kalo liat dari apa yang udah dibahas dari tadi sih kok kayaknya negatif ya? Siapa sih yang suka sama kenaikan harga?

Kalo harga barang dan jasa naik terus, berarti kan masyarakatnya juga harus cari uang lebih banyak lagi dong ya buat memenuhi kebutuhan hidupnya? Kedengerannya kok bukan kondisi yang bagus sih?

Masih inget cerita gue tadi soal uang jajan gue zaman gue SMA? Dari cerita itu keliatan kan ya kalo nilai uang Rp5.000 di tahun 1990-an emang jauh tinggi nilainya dibanding Rp5.000 sekarang. Padahal nominalnya sama-sama Rp5.000.

Berarti dapat disimpulkan ya bahwa inflasi membuat nilai uang semakin berkurang harganya.

Hal ini jelas akan merugikan ya kalo misalnya elo nabung sebanyak-banyaknya di celengan. Karena 10 tahun kemudian, uang yang ditabungin itu nilainya bakalan lebih kecil dibanding waktu tabungin.

Sekarang coba elo liat deh kehidupan sehari-hari buat orang-orang yang bekerja. Misalnya seorang karyawan di perusahaan A dapet gaji Rp3.000.000/bulan. Dia udah kerja di perusahaan A itu selama 8 tahun dan gajinya dari dulu segitu.

Kebayang kan bahwa 8 tahun yang lalu, dengan uang Rp3.000.000 itu dia mungkin bisa beli macem-macem. Tapi nilai uangnya sekarang udah nggak segede dulu lagi, karena selama 8 tahun ini terjadi inflasi.

Nah, ini kan sebenernya berarti pendapatan dia turun toh? Nominalnya sih nggak turun, tapi nilai riil-nya turun kan ya? Inilah yang dibilang kalau inflasi tuh menurunkan pendapatan riil seseorang.

Makanya biasanya perusahaan ada kebijakan kenaikan gaji karyawan setiap tahunnya, dan seharusnya kenaikan gaji ini juga menyesuaikan dengan tingkat inflasi.

Jadi balik lagi nih, apakah inflasi tuh selalu merugikan perekonomian? Jawabannya: Nggak selalu merugikan. Kenapa kok ga selalu merugikan? Karena dalam kenyataannya, adanya inflasi juga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Lho kok bisa? Coba ya liat deh, kalo misalnya terjadi inflasi nih di Indonesia karena jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat sebagai akibat dari banyaknya kredit yang dikucurkan oleh pihak perbankan, pasti masyarakat bakalan beli barang dan jasa lebih banyak lagi kan?

Sebagai akibatnya, permintaan secara umum atau Aggregate Demand kan jadinya meningkat tuh, terus terjadilah inflasi.

Tapi di sisi lain, peningkatan konsumsi masyarakat ini pada akhirnya meningkatkan Pendapatan Nasional atau Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Product/GDP) kan?

Dalam pengertian lain, inflasi pada tingkat tertentu dibutuhkan untuk mendorong roda ekonomi untuk terus maju.

Inget salah satu cara menghitung pendapatan nasional adalah dengan menggunakan persamaan berikut:

Demand-pull Inflation

Kalo inflasi jenis ini, contoh yang paling gampang gini, elo pernah kepikir nggak kalo seandainya uang jajan lebih gede dari yang didapat sekarang.

Misalnya duit jajan elo sekarang sebulan Rp500.000, tiba-tiba Mama naikin uang jajan jadi Rp1.000.000/sebulan. Ya secara natural, biasanya elo terdorong untuk belanja lebih banyak daripada waktu duit jajan sedikit.

Nah, sekarang bayangin kalo fenomena ini terjadi dalam skala yang besar dalam masyarakat luas. Tiba-tiba semua orang pada doyan belanja!

Kalo permintaan naik, lagi-lagi elo bisa tebak sendiri gimana respon para pedagang dengan otak bisnisnya? Yup, lagi-lagi naikin harga.

Nah, rantai sebab-akibat inilah yang disebut Demand-pull Inflation atau Inflasi Tarikan Permintaan. Inflasi jenis ini terjadi karena adanya kelebihan permintaan secara agregat atau keseluruhan (Aggregate Demand/AD) sebuah negara.

Kenapa permintaan barang dan jasa kok bisa naik secara keseluruhan gitu sih? Biasanya penyebabnya adalah adanya kelebihan likuiditas atau peningkatan jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Indeks Harga Produsen (IHP) atau Producer Price Index (PPI)

Selain pendekatan IHK, ada juga pendekatan IHP. Pada dasarnya kedua pendekatan ini sama-sama mau menghitung perkiraan tingkat inflasi.

Cuma kalo IHK meninjau dari sisi harga yang dibayar konsumen, kalo IHP meninjau indeksnya dari harga produsen, yaitu harga yang diterima oleh produsen dalam menjual barang dan jasanya.

Jadi intinya harga produsen adalah harga dasar, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Seperti IHK juga, untuk IHP tim BPS menentukan sekelompok barang dan jasa di berbagai sektor seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri pengolahan, akomodasi, makanan dan minuman di 8 provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.

Dalam praktiknya, memang pendekatan IHP ini lebih jarang dipake untuk ngitung inflasi. Alasannya, karena memang lebih sulit mengumpulkan data pembelanjaan industri yang pastinya menyangkut rahasia dapur dari banyak perusahaan. Jadi pada prakteknya hal ini lebih sulit dilakukan dibandingin dengan ngumpulin data IHK.